Analisis Puisi â IBUâ Karya D. Zawawi Imron â IBUâ Karya D. Zawawi Imron Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting Hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir Bila aku merantau Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar Ibu adalah gua pertapaanku Dan ibulah yang meletakkan aku di sini Saat bunga kembang menyerbak bau sayang Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi Aku mengangguk meskipun kurang mengerti Bila kasihmu ibarat samudera Sempit lautan teduh Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh Lokan-lokan, mutiara dan kembaang laut semua bagiku Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu Lantaran aku tahu Engkau ibu dan aku anakmu Bilaa berlayar lalu datang angin sakal Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala Sesekali datang padaku Menyuruhku menulis langit biru Dengan sajakku Puisi IBUâkarya Imron menggunakan sarana retorik repetisi atau pengulangan untuk mengemukakan gagasannya terhadap sosok ibu /Bila aku merantau/Bila kasihmu ibarat samudera/Bila berlayar lalu datang angin sakal/hal itu menggambarkan BILAâ atau jika si Aku menghadapi sesuatu, atau mengibaratkan sesuatu yang menegaskan sosok si âibuâ. Tidak hanya sarana reptisi saja, namun Imron juga menggunakan majas Hiperbola, seperti/Hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir/Menyuruhku menulis langit biru/ Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala/hiperbola adalah sesuatu yang dilebih-lebihkan air mata manusia memiliki batasan, manusia tidak dapat menulis di langit biru, dan bianglala adalah pelangi, penulis melebihkan penggambaran terhadap ibunya yang berselendang pelangi sebagai bentuk kekagumannya terhadap sosok Ibu. Penggunaan diksi dalam puisi ibuâ simile/ Bila kasihmu ibarat samudera/mengibaratkan sesuatu, puisi tersebut juga banyak menggunakan konotasi bukan sebenarnya /Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku/Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan/Ibu adalah gua pertapaanku / itu bukanlah makna yang sebenarnya, seperti contoh; gua pertapaan bukan berarti gua yang terbuat dari batu untuk bertapa namun perumpamaan Gua sebagai tempat yang tenang untuk penulis kembali;tempat bernaung;tempat berlindung/ Bila berlayar lalu datang angin sakal/ artinya bila dia menjalani kehidupan lalu datanglah masalah/ Saat bunga kembang menyerbak bau sayang/ kasih sayang seorang ibu/ Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri/tempat dimana seorang anak mencari petunjuk;nasihat;dan merenungi kesalahannya. Imaji yang digunakan Puisi Ibu, imaji perasa/ Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku/ imaji penglihatan Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting/Hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir/Saat bunga kembang menyerbak bau sayang/Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi. Imaji penciuman / Saat bunga kembang menyerbak bau sayang. Imaji perasaan/ Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan/ Puisi Ibu menggambarkan rasa kagum seorang anak terhadap sosok Ibunya, hingga penulis banyak menggunakan perumpamaan yang indah untuk sang Ibu.
ArticlePDF Available AbstractTujuan penelitian ini untuk menganalisis struktur fisik dan struktur batin serta menganalisis kode hermeneutik, kode semik atau konotatif, kode simbolik, kode proaeretik, dan kode kultural atau budaya berdasarkan teori Roland Barthes. Ancangan penelitian ini kualitatif dengan metode analisis semiotik berlandaskan pada teori Roland Barthes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa puisi âIbuâ memiliki struktur fisik berupa diksi, imajinasi atau citraan, kata konkret, majas atau bahasa figuratif, verifikasi, dan tipografi. Adapun struktur batinnya meliputi tema sense, perasaan, nada dan suasana, dan amanat. Mengenai semiotik Roland Barthes, puisi âIbuâ mengandung kode hermeneutik, kode semik atau konotatif, kode simbolik, kode proaeretik, dan kode kultural atau budaya. Hal ini membuktikan bahwa puisi âibuâ sebagai salah bentuk karya sastra yang mengutamakan kepadatan, fungsi estetik, dan ekspresi tidak langsung; mempunyai kekuatan dalam aspek semiotik sehingga sesuai dengan hakikat puisi sebagai sistem tanda. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 183SAWERIGADINGVolume 28 No. 2, Desember 2022 Halaman 183 â 200ANALISIS SEMIOTIK ROLAND BARTHES PADA PUISI IBUâ KARyA D. ZAWAWI IMRONSemiotic Analysis of Roland Barthes at âIbuâ Poetry by D. Zawawi ImronMohammad Kanzunnudinaa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muria KudusGondangmanis Bae, Kudus, IndonesiaPos-el Naskah Diterima Tanggal 26 Juli 2022; Direvisi Akhir Tanggal 25 November 2022; Disetujui Tanggal; 28 November 2022AbstractThis study aims to formulate physical and mental structures and reveal hermeneutic codes, semimic or connotative codes, symbolic codes, prophetic codes, and cultural or cultural codes based on Roland Barthesâ theory. This research is qualitative by using a semiotic analysis method based on the theory of Roland Barthes. The poem âIbuâ has a physical structure in the form of diction, imagination or imagery, concrete words, the îżgure of speech or îżgurative language, veriîżcation, and typography. The inner structure has a theme sense, feeling, tone, atmosphere, and message. It shows that the poem âIbuâ has strength in both physical and mental elements. Based on Roland Barthesâs semiotics, a hermeneutic code, a semimic or connotative code, a symbolic code, a prophetic code, a prophetic code, and a cultural or cultural code are discovered after analyzing the poem âIbu.âKey words poetry of Ibu; surface structure; deep structure; semioticAbstrakPenelitian ini bertujuan merumuskan struktur fisik dan struktur batin serta mengungkap kode hermeneutik, kode semik atau konotatif, kode simbolik, kode proaeretik, dan kode kultural atau budaya berdasarkan teori Roland Barthes. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode analisis semiotik berlandaskan pada teori Roland Barthes. Puisi âIbuâ mempunyai struktur fisik berupa diksi, imajinasi atau citraan, kata konkret, majas atau bahasa figuratif, verifikasi, dan tipografi. Struktur batin memiliki tema sense, perasaan, nada dan suasana, dan amanat. Hal ini menunjukkan bahwa puisi âIbuâ memiliki kekuatan dalam unsur fisik maupun batin. Puisi âIbuâ, setelah dianalisis berdasarkan semiotik Roland Barthes, ditemukan adanya kode hermeneutik, kode semik atau konotatif, kode simbolik, kode proaeretik, dan kode kultural atau budaya. Kata-kata kunci puisi Ibu; struktur fisik; struktur batin; semiotikPENDAHULUAN Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra selain prosa dan drama memiliki karakteristik yang unik. Dinyatakan unik karena ciri dalam puisi tidak terdapat pada bentuk atau jenis karya sastra yang lain. Sebagaimana dinyatakan oleh Pradopo, 2000 bahwa puisi merupakan aktivitas pemadatan. Dalam puisi tidak semua kisah atau peristiwa diceritakan. Dalam puisi yang dikemukakaan hanya inti masalah, peristiwa atau inti cerita. Dalam puisi hanya mengungkapkan esensi sesuatu. Puisi sebagai ekspresi esensi. Puisi itu mampat dan padat. Oleh sebab itu, penyair memilih kata dengan akurat. Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 184Berkaitan dengan ciri puisi tersebut di atas, dipertegas oleh Riffaterre, 1978 bahwa karya sastra berbentuk puisi merupakan ekspresi tidak langsung. Hal ini disebabkan oleh tiga hal, yakni 1 penggantian arti displacing of meaning, 2 penyimpangan atau pemencongan arti distorsing of meaning, dan 3 penciptaan arti creating of meaning. Begitu juga Teeuw, 1983, yang menyatakan bahwa puisi memiliki karakteristik paradoksal. Puisi merupakan karya sastra yang bulat, berdiri sendiri, yang otonom dan yang boleh dan harus dipahami dan ditafsirkan pada sendirinya. Akan tetapi, pada pihak lain, hal itu merupakan aktualisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya sebagai pelaksanaan pola harapan pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan konvensi yang bersangkutan. Puisi merupakan ungkapan dan perasaan penyair melalui bahasa terikat oleh irama, matra, rima, penyusunan lirik bait, dan penuh makna. Sebagai bentuk karya sastra, puisi banyak menyimpan tanda-tanda. Adapun tanda-tanda dalam puisi menurut Culler, 1975 sebagai konvensi sastra yang harus dipahami dalam sebuah puisi. Konvensi tersebut sangat penting dalam puisi tersebut juga ditunjukkan oleh puisi âIBUâ karya D. Zawawi Imron. Oleh sebab itu, puisi berjudul âIBUâ tersebut menarik untuk diteliti berdasarkan persepsi semiotik. Sebagaimana dinyatakan oleh Pashaki et al., 2016, semiotik sebagai studi yang mengeksplorasi tanda-tanda dan proses interpretasi, menemukan kesempatan antara penanda dan ditadai, dan fokus pada studi sistematis dari semua faktor yang terlibat dalam produksi dan interpretasi tanda-tanda dan seluruh proses. Oleh sebab itu, sebuah puisi dianalisis berdasarkan ilmu tanda sangat tepat. Sebagaimana nyatakan oleh Preminger, 2001 bahwa puisi merupakan sistem semiotik tingkat kedua. Dalam konteks ini menunjukkan jika puisi merupakan sistem tanda sehingga selaras apabila dianalisis dengan pisau semiotik. Semiotik yang digunakan untuk menganalisis puisi âIBUâ, yakni semiotik Roland Barthes. Hal ini didasari pertimbangan bahwa karya sastra berbentuk puisi sarat dengan tanda dan makna konotasi daripada makna denotasi. Rolland Barthes Taum, 2018 mengungkapkan ada dua tingkat tanda, yakni denotasi makna yang merujuk pada tanda sebagai makna tingkat pertama yang menjadi penanda pada tingkatan tanda kedua, yakni konotasi. Konotasi melibatkan pengetahuan dan perasaan penafsir untuk menghubungkan sesuatu yang konkret dengan yang abstrak. Pradopo, 2001, puisi sebagai salah satu genre karya sastra sarat dengan sistem tanda, yang memiliki satuan-satuan tanda, seperti kosa kata, dan bahasa kiasan. Pradopo, 2000, juga mengemukakan bahwa puisi secara semiotik sebagai struktur tanda-tanda yang bersistem dan bermakna ditentukan oleh konvensi. Memahami sebuah puisi berarti memahami makna puisi. Makna puisi merupakan arti yang muncul karena bahasa yang disusun berdasarkan struktur menurut konvensinya. Oleh sebab itu, mengkaji puisi harus menganalisis struktural dan semiotik karena puisi merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna Nursalim, 2018. Penelitian puisi âIBUâ karya D. Zawawi Imron berdasarkan perspektif semiotik Roland Barthes dilakukan mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian yang dilakukan oleh Purwningsih, 2013 tentang analisis stilistika dan nilai-nilai pendidikan kumpulan puisi âMata Badik Mata Puisiâ karya D. Zawawi Imron. Hasil penelitian ini menghasilkan 1 diksi yang ditemukan dalam kumpulan puisi Mata Badik Mata Puisi, yakni efek sedih, senang dan menegangkan; 2 citraan dalam Mata Badik Mata Puisi, didominasi citraan gerak, penglihatan, peraba, pendengaran, pengececap, dan penciuman; 3 kata konkret yang digunakan pengarang, yakni menggunakan symbol Bahasa Bugis-Makasar; 4 rima yang ada terdiri atas asonansi /a/, /e/, /i/, /u/ dan aliterasi /b/, /d/, /g/, 183 â 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 185/k/, /m/, /n/, /r/, /s/, /t/; dan 5 bahasa figuratif didominasi personifikasi, hiperbola, simile, alegori, metafora. Adapun nilai pendidikan mencakupi nilai moral, agama, sosial, dan nilai budaya. Penelitian Ginanjar et al., 2018 tentang analisis struktur batin dan struktur fisik pada puisi âIBUâ karya D. Zawawi Imron. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menganalisis struktur batin dan struktur fisik yang membangun struktur puisi âIBUâ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur batin puisi âIBUâ karya D. Zawawi Imron terdiri atas tema, perasaan, nada, suasana, dan amanat. Adapun struktur fisik yang membangun puisi âIBUâ meliputi diksi, kata konkret, imajinasi, majas, rima, dan tipografi. Penelitian Puspita, 2015, meneliti majas dalam kumpulan puisi âBantalku Ombak Selimutku Anginâ karya D. Zawawi Imron. Penelitian ini menghasilkan majas perbandingan, personifikasi, metafora, parabel, dan fabel. Adapun majas yang paling dominan, yakni majas personifikasi. Nurjanah, 2016 meneliti stilistika serta nilai-nilai religius 10 puisi dalam kumpulan puisi âMata Badik Mata Puisiâ karya D. Zawawi Imron. Dalam penelitian ini menghasilkan 1 penggambaran majas dilakukan dengan interaksi pengarang atau masyarakat Bugis budaya, lingkungan alam, dan spiritual masyarakat Bugis; 2 adanya majas-majas yang terkandung dalam teks puisi, yakni majas penegasan repetisi, aferesis, paralisme, retoris, arkhaisme, anaphora, klimaks, aforisme, tautologi, enumerasio, dan ekslamasio, majas perbandingan antonomosia, epitet, hiperbola, personifikasi, smile, simbolik, sinestesia, onomotope, metafora, dan alegori. KERANGKA TEORI PuisiReeves, 1978 mengemukakan puisi sebagai karya sastra bersifat imajinatif, bahasanya konotatif, banyak digunakan makna kias dan makna lambang. Bahasanya lebih banyak menyodorkan berbagai kemungkinan makna. Hal ini disebabkan adanya pengkonsentrasian atau pemadatan kekuatan bahasa dalam puisi. Begitu juga, struktur fisik dan struktur batin pada puisi serta menyatu padu. Pradopo, 2000 menyatakan bahwa hakikat puisi ditentukan oleh tiga aspek, yakni memiliki fungsi estetis, kepadatan, dan ekspresi tidak langsung. Fungsi estetis, ditunjukkan bahwa puisi sebagai karya sastra fungsi estetika keindahaan sangat dominan. Funsi estetis ini merupakan unsur kepuitisan persajakan, irama, diksi, gaya bahasa. Aspek kepadatan, bahwa menulis puisi sebagai aktivitas pemadatan tidak semua peristiwa diceritakan. Puisi mengemukakan esensi sesuatu. Oleh sebab itu, puisi itu padat maka penyair memilih kata dengan puisi yang diungkapkan Pradopo tersebut menjadi dasar analisis puisi âIbuâ karya D. Zawawi Imron. Struktur Puisi Puisi terdiri atas dua unsur pokok, yakni struktur fisik dan struktur batin. Keduanya terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan semua unsur tersebut membentuk totalitas makna yang utuh. Struktur fisik terdiri atas diksi, imajinasi atau citraan, kata konkret, majas atau bahasa figuratif, verifikasi, dan tipografi. Adapun struktur batin terdiri atas tema sense, perasaan, nada dan suasana , dan amanat Waluyo, 2010.Struktur fisik Diksi merupakan pilihan kata Waluyo, 2010 menjelaskan bahwa penyair sangat cermat memilih kata dengan mempertimbangkan maknanya, rima dan irama, dan kedudukan kata dalam puisi. Oleh karena itu, penyair juga sangat memperhatikan urutan kata dan kekuatan Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 186kata hingga mempunyai daya magis. Kata-kata diberi makan baru, dan kata-kata yang tidak bermakna diberi makna sesuai dengan keinginan penyair. Imaji atau citraan merupakan kata atau susunan kata yang mampu atau dapat mengungkapkan sensoris, seperti pendengaran, penglihatan, dan perasaan. Citraan yang berkaitan dengan pendengaran disebut citra auditif, dengan penglihatan dinamakan citra visual, yang berhubungan dengan sesuatu yang bergerak disebut citra kinestik, yang berkaitan dengan perabaan disebut citra rabaan atau citra termal, dengan penciuman dinamakan citra penciuman, dan yang berhubungan dengan indera pengecapan disebut citra pengecapan Sayuti, 2010.Kata konkret, merupakan kata yang mempunyai referensi objek yang dapat diamati Kanzunnudin, 2021b. Bahasa figuratif, mempunyai banyak makna atau taksa. Bahasa figuratif, menurut Hawkes, 1977, menyatakan suatu makna dengan cara yang tidak biasa atau tidak sesuai denga apa yang diucapkan. Verifikasi berkaitan dengan bunyi. Bunyi dalam puisi memegang fungsi sangat penting karena menghasilkan rima dan ritma. Kata rima dipergunakan untuk mengganti istilah persajakan pada sistem lama karena diharapkan bahwa penempatan bunyi dan pengulangnya tidak hanya pada akhir setiap baris, tetapi juga keseluruhan baris dan bait. Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Adapun ritma berkaitan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Mengenai tata wajah atau tipografi, merupakan sarana penting karena sebagai pembeda antara bentuk puisi dengan bentuk prosa dan drama. Puisi dalam membangun bentuknya tidak dengan paragraf tetapi dengan bait-bait. Begitu juga dalam penulisan baris, puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu dipenuhi tulisan. Hal ini kebalikan dengan bentuk prosa Waluyo, 2010. Struktur Batin Sebagaimana telah dijelaskan bahwa struktur batin puisi terdiri atas perasaan, tema, nada, dan amanat Waluyo, 2010. Perasaan atau rasa feeling merupakan suasana hati yang diungkapkan penyair dalam puisinya. Sikap penyair terhadap inti permasalahan yang berada dalam puisi. Tema merupakan gagasan pokok yang disampaikan atau dikemukakan oleh penyair. Keeny, 1983 menyatakan tema merupakan makna cerita puisi. Tema sebagai ide utama atau tujuan utama. Tema sebagai gagasan pokok yang terdapat dalam cerita/puisi.Fananie, 2002; Wardani, 2009 Nada dalam puisi sangat penting. Waluyo, 2010 mengemukakan bahwa setiap penyair memiliki sikap terhadap pembaca. Bisa sikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir atau lugas dalam bertutur kepada pembaca. Sikap ini yang disebut nada. Adapun suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi yang bersangkutan atau akibat kejiwaan atau psikologis yang ditimbulkan oleh puisi terhadap pembaca. Amanat merupakan pesan yang disampaikan penyair kepada pembaca. Pesan penyair dapat dipahami, setelah pembaca memahami tema, rasa, dan nada puisi. Amanat secara implisit tersirat di balik kata-kata yang disusun dan di balik tema yang diungkapkan oleh penyair. Amanat berbeda dengan tema. Tema berkaitan dengan arti karya sastra, sedangkan amanat berkaitan dengan makna karya sastra meaning dan sifniîżance. Arti karya sastra bersifat lugas, objektif, dan khusus. Adapun makna karya sastra bersifas kias, subjektif, dan umum. Makna berkaitan dengan personal pribadi. Oleh sebab itu, setiap pembaca mempunyai tafsiran atau 183 â 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 187interpretasi berbeda-beda terhadap isi puisi sehingga memperoleh amanat tergantung atau sesuai dengan interpretasi masing-masing. Semiotik Roland Barthes Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini mengganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan sebagai tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda yang bersangkutan memiliki arti Preminger, 1974. Teori semiotik Roland Barthes, menandaskan bahwa untuk memahami teks narasi atau pusi dengan cara menganalisis atau membedah teks baris demi baris melalui lima 5 sistem kode. Kelima sistem kode yang dimaksud, yakni kode hermeneutik, kode semik atau konotatif, kode simbolik, kode proaeretik, dan kode kultural atau budaya Sunahrowi, 2019.Dengan makna yang hendak disampaikan oleh penyair dalam puisi pada umumnya tersembunyi sehingga menimbulkan pertanyaan bagi pembaca. Tanda tanya itu menimbulkan daya tarik bagi pembaca untuk menafsirkan jawaban. Tanda tanya yang muncul dalam puisi menimbulkan rasa penasaran bagi pembaca untuk mencari jawabannya. Apabila jawaban atas pertanyaan itu ada dalam teks puisi, maka pembicaraan itu berada dalam dimensi kode hermeneutik. Kode konotatif, menunjukkan bahwa makna yang ditafsirkan dalam puisi, yakni makna konotatif. Dalam puisi makna yang sangat dominan, yakni makna konotatif. Bahasa kias sangat dominan dalam puisi. Pembaca dalam menafsirkan puisi sangat berbeda dengan mengintrepretasikan prosa. Oleh sebab itu, agar dapat memahami makna puisi, pembaca harus menafsirkan makna-makna konotatif dalam puisi. Kode simbolik berkaitan erat dengan kode konotatif. Kode simbolik lebih mengarah pada bahasa sastra yang mengungkapkan atau melambangkan suatu dengan hal lain. Peristiwa-peristiwa diungkapkan puisi belum tentu untuk cerita melainkan untuk lambang sesuatu. Bahkan mungkin melambangkan sesuatu yang akan terjadi. Begitu juga, makna sebuah puisi dimunculkan berdasarkan oposisi biner binary oposition atau pembedaan balik. Kode proaeretik atau perbuatan, dalam konteks karya sastra bahwa perbuatan atau gerak atau alur pikiran penyair merupakan rangkaian atau rentetan yang membentuk garis liner. Berdasarkan rangkaian alur pikiran penyair yang diaktualisasikan dalam baris demi baris membentuk baik, maka pembaca dapat memahami gerak batin dan pikiran penyairnya. Oleh karena itu, apabila dicermati secara saksama, alur batin dan pikir penyair sejalan atau linear dengan susunan baris yang membentuk bait-bait dalam puisi bait pertama, bait kedua, dan seterusnya. Gagasan penyair meruapakan gagasan yang runtut selaras dengan susunan baris-baris dan bait-bait dalam puisi. Hal ini sebagai gerak atau lakuan batin dan pikiran penyair. Kode kultural atau budaya, berkaitan dengan sistem pengetahuan dan sistem nilai yang tersirat dalam puisi. Kata, frasa atau klausa dalam puisi yang berkaitan dengan budaya secara umum maupun secara khusus. Misalnya sebuah puisi mengemukakan idiom-idiom budaya, menyebut nama benda yang berkaitan dengan budaya lokalitas. Hal ini menunjukkan bahwa kode-kode budaya yang harus diinterpretasikan oleh pembaca. Pemahaman terhadap kode budaya dalam membaca karya sastra, sesuai pendapat Teeuw, 1983 bahwa untuk memahami sebuah karya sastra, pembaca harus menguasai berbagai sistem, yakni kode bahasa, kode sastra yang khas, dan kode budaya. Taum, 2018METODEAncangan penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 188Sebagaimana dinyatakan Moleong, 2001, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, bukan angka-angka. Oleh sebab itu, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan. Ratna, 2012 menyatakan bahwa penelitian kualitatif memberikan perhatian data alamiah, yakni data yang berkaitan dengan konteks keberadaannya. Dalam konteks ini, data alamiah yang dimaksud, yakni teks sastra. Adapun sumber data penelitian ini puisi berjudul âIBUâ karya D. Zawawi Imron yang dikutip dari buku âSegugus Percakapan Cinta Di Bawah Matahari Antologi Dua Penyair Malaysia-Indonesiaâ terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia tahun 2017 Shamsudin & D. Zawawi, 2017. Perihal data berupa penggalan-penggalan puisi yang berupa kata atau kelompok kata. Teknik pengumpulan data menggunakan model pembacaan semiotik, yakni pembacaan heruistik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif Riffaterre, 1978. Model pembacaan ini sesuai pernyataan Barthes, 2010 bahwa karya terutama karya sastra merupakan bagian dari hermenuetik atau menjadi objek interpretasi. Pembacaan heruistik merupakan pembacaan berdasarkan sistem semiotik tingkat pertama, yakni pembacaan menurut konvensi bahasa. Adapun pembacaan hermeneuitik atau retroaktif adalah pembacaan ulang dengan memberikan tafsiran. Pembacaan hermeneutik berdasarkan sistem tanda semiotik tingkat kedua, sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sastra Kusumawati, 2021. Data-data dianalisis menurut struktur fisik dan batin puisi. Setelah analisis struktur fisik dan batin selesai, kemudian dianalisis berdasarkan teori semiotik Roland barthes. PEMBAHASAN Struktur îżsikDiksi Pilihan kata dalam puisi âIBUâ karya D. Zawawi Imron, sangat lugas dan sederhana. Bahkan terkesan menggunakan bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari yang sangat familiar dengan konteks tempat penyair dilahirkan sehingga diksinya sangat akrab dengan pembaca. Berikut ini contoh diksi dalam puisi âIbuâ pada bait kedua. bila aku merantausedap kopyor susumu dan ronta kenakalankudi hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduanlantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar Bait kedua puisi âIBUâ terdiri atas empat baris tersebut menggunakan diksi yang sederhana yang digunakan dalam momunikasi sehari-hari. Misalnya pada baris pertama yang terdiri atas tiga kata/bila aku merantau/, merupakan diksi dalam bahasa sehari-hari yang sangat femiliar dengan pemakai bahasa pada umumnya. Oleh karena itu, pembaca tidak perlu mengernyitkan dahi untuk memahami makna bait tersebut. Akan tetapi, diksi-diksi yang sederhana tersebut memiliki kekuatan yang total untuk membangun lokasi tempat dan nuansa si aku lirik berada berasal setelah muncul diksi pada baris II /sedap kopyor Susumu âŠ/ dan pada baris III/ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan/.Pohon Siwalan banyak tumbuh di dataran kering dan terbuka, seperti di Lamongan, Gresik, Tuban Jawa Timur; Jawa Tengah, madura, Bali, dan maluku. Hal ini menunjukkan setting tempat si aku lirik berada atau berasal, yakni Madura. Di wilayah atau daerah yang kering karena pertanian tidak begitu subur, para anak muda pada umumnya merantau untuk mengadu nasib yang lebih menjanjikan baik. 183 â 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 189Diksi /sedap kopyor susumu/ mengacu pada sebuah kelapa, yakni kelapa kopyor. Buah kelapa kopyor sangat disukai karena rasanya sangat menyegarkan apabila dijadikan minuman. Pada sisi lain, memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi jika dibandingan dengan kelapa biasa. Diksi itu menunjukkan bahwa seorang anak sangat menghormati dan menghargai air susu ibu yang tiada bandingnya. Apalagi dikaitkan dengan baris keempat /lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar/. Diksi yang menggunakan kata-kata sehari-hari itu mengantarkan pembaca pada penghayatan yang sangat dalam tentang âair susu ibuâ sebagai sumber hidup seorang anak. Hal itu tidak bisa diganti atau dibayar dengan apapun juga. Diksi yang dipilih penyair tersebut berdimensi konotatif, yakni tidak bermakna lugas tetapi bermakna konotatif, seperti diksi /sedap kopyor susumu/. Diksi dengan menggunakan kata-kata lugas dalam puisi âIbuâ membuktikan bahwa penyair telah menghasilkan komunikasi yang efektif dengan pembaca. Sejalan dengan pendapat Kanzunnudin, 2021a, indikator ketepatan kata, yakni menghasilkan komunikasi puncak yang paling efektif tanpa salah penafsiran atau salah makna. Penegasan Aminuddin, 1995, bahwa diksi yang tepat dapat mengantarkan gagasan atau ide yang disampaikan oleh penyair dalam puisinya kepada pembaca, mudah dipahami atau diterima. Imaji atau CitraanBerkaitan dengan imaji atau citraan dalam puisi, menurut Sayuti, 2010, bahwa citraan yang berhubungan 1 indra penglihatan disebut citra visual, 2 indra pendengaran disebut citra auditif, 3 sesuatu yang ditampilkan tampak bergerak disebut citra kinestetik, 4 indra penciuman disebut citra penciuman, dan 5 indra pencecapan disebut citra pencecapan. Citra visual diungkapkan pada bait I baris kedua /sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting/. Citraan tersebut mengajak pembaca untuk menyaksikan atau melihat sumur-sumur mengalami kekeringan dan daun-daun berguguran. Bahkan ranting-ranting pohon pun berjatuhan. Hal itu disebabkan karena musim kemarau. Sebagaimana dinyatakan oleh baris I pada bait pertama / ⊠lalu datang musim kemarau/. Pada bait III baris ketiga, juga terdapat citra visual, yakni /ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi/. Juga pada bait VI sebagai bait terakhir dalam baris pertama /ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala/. Puisi âIBUâ menampilkan citra kinestetik pada bair IV baris keempat /tempat berlayar, menebar pukat dan melempar sauh/. Penyair mengajak pembaca untuk membayangkan bagaimana si âakuâ lirik sedang asyik menebar pukat dan melempar sayuh di laut. Citra kinestetik juga ditunjukkan dalam bait I baris ketiga /hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir/. Citra kinestetik tersebut mampu membawa pembaca dalam suasana haru. Hal ini membawa imajinasi pembaca pada suasan nyata bahwa pada musim kemarau bahwa semua sumber air atau mata air berhenti sehingga sumur-sumur tidak mengeluarkan air atau mengalami kekeringan. Akan tetapi, air mata ibu tidak pernah mengalami kekeringan. Air mata ibu terus mengalir mengiringi dan mendoakan anaknya yang sedang merantau. Suasana ini dipertegas keutuhan bait I yang terdiri atas tiga baris /kalau aku merantau lalu datang musim kemarau/ sumur-sumur kering, daunan pun gugur Bersama reranting/hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir/.Indra penciuman atau indra penciuman, terdapat dalam puisi âIbuâ pada bait III baris ketiga /saat bunga kembang menyemerbak bau sayang/. Kelompok kata âmenyemerbak bau sayangâ membangkitkan imaji indera penciuman pembaca untuk mencium bau wangi Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 190atau harumnya kembang suatu bunga. Sebuah analogi terhadap kasih sayang seorang ibu yang sangat harum bagai harumnya bunga-bunga yang baru bermekaran hingga dikerumuni oleh lebah. Citra pencecapan diungkapkan oleh bati II baris kedua /sedap kopyor susumu âŠ/ Diksi itu mengantarkan imaji pembaca pada citra pencecapan. Pembaca diajak untuk merasakan âsedapnya kelapa kopyorâ. Buah kelapa yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan rasanya sangat sedap dan gurih serta sangat berbeda dengan buah kelapa pada umumnya atau buah kelapa biasa. Berdasarkan analisis citraan, puisi âIBUâ karya D. Zawawi Imron memiliki 1 imaji visual, 2 imaji kinestetik, 3 imaji penciuman, dan 4 imaji pencecapan. Akan tetapi, tidak mempunyai imaji auditif. Dengan ditemukannya keempat imaji atau citraan tersebut menunjukkan bahwa penyair menyadari pentingnya imaji atau citraan dalam puisi. Sebagaimana diungkapkan oleh Sayuti, 2010 bahwa citraan dalam puisi dapat dipahami dari dua sisi. Pertama, secara reseptif, dari sisi pembaca. Citraan merupakan pengalaman indra yang terbentuk dalam rongga imajinasi pembaca ditimbulkan oleh sebuah kata atau rangkain kata. Kedua, secara ekspresif, dari sisi penyair. Citraan sebagai bentuk kata atau rangkaian kata yang digunakan oleh penyair untuk membangun komunikasi estetik atau untuk menyampaikan pengalaman indranya. Lebih lanjut, Sayuti, 2010, menjelaskan bahwa dengan citraan maka pembaca dihadapkan dengan sesuatu yang tampak konkret sehingga dapat membantu proses penafsiran dan penghayatan puisi secara menyeluruh dan tuntas. Adapun kaitannya dengan proses kreatif, citraan berfungsi untuk membangun keutuhan puisi karena pengalaman keindraan penyair disampaikan kepada pembaca. Pada sisi aspek citraan bagi penyair Altenbernd & Lewis, 1970 merupakan alat kepuitisan yang mengantarkan kesusastraan dalam hal ini puisi mencapai sifat-sifat konkret, khusus, mengharukan, dan juga dapat menggambarkan suasana khusus, kejelasan, dan memberi warna setempat local colour yang sangat kuat Pradopo, 2000. D. Zawawi Imron dalam puisinya berjudul âIBUâ telah menggunakan citraan yang sarat dengan warna lokal dimana dirinya tinggal. Begitu juga, citraan juga berfungsi memudahkan pembaca menangkap makna yang terkandung dalam puisi âIBUâ. Kata Konkret Kata konkret atau khusus dimanfaatkan atau digunakan oleh penyair agar pembaca dapat membayangkan secara nyata apa yang dimaksud dalam puisi. Dengan demikian, pembaca lebih mudah mengkonkretkan hal-hal yang bersifat imajinatif. Kanzunnudin, 2021a menyatakan bahwa kata konkret merupakan kata yang mempunyai referensi objek yang dapat diamati. Kata konkret tersebut ditunjukkan pada bait II baris ketiga, yakni /di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan/. Kata konkret juga terdapat bait I pada baris kedua /sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting/. Rangkaian kata âmayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduanâ mengkonkretkan rasa rindu yang begitu dalam atau raga rindu yang berbunga-bunga. Begitu juga rangkaian kata âsumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama rerantingâ, mengkonkretkan musim kemarau yang sangat kering sehingga tidak ada sumber mata air. Sesuai dengan pendapat Waluyo, 2010, untuk membangkitkan imaji atau daya bayang pembaca, maka kata-kata harus dikonkretkan. Kata-kata konkret dapat menyarankan pada arti yang menyeluruh. Apabila seorang penyair terampil mengkonkretkan kata-kata maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, merasakan apa yang dilukiskan oleh penyair. 183 â 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 191Hal ini menjadikan pembaca terlibat penuh secara batin pada puisi yang dibaca. Kata konkret tersebut memiliki fungsi untuk mencapai tingkat efektivitas dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu, puisi berjudul âIbuâ mempunyai daya efektivitas dalam berkomunikasi dengan pembaca sehingga melahirkan interaksi yang intim antara pembaca dengan puisi yang dibacanya. Majas atau Bahasa Figuratif Majas îżgure of speech adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis penyair untuk mencapai aspek atau daya keindahan. Majas dibedakan menjadi 1 majas penegasan, 2 perbandingan, 3 pertentangan, dan 4 majas sindiran Ratna, 2013. Majas penegasan diperlihatkan pada bait I baris ketiga /hanya mata air air matamu ibu, âŠ/. Rangkaian kata âmata air air matamuâ merupakan majas penegasan berbentuk repetisi dengan aliterasi. Majas penegasan juga ditunjukkan pada bait IV baris ketiga /tempatku mandi, mencuci lumut pada diri/ dan baris keempat /tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh/. Kata âberlayar, menebar, melemparâ sebagai majas penegasan berupa paralelisme, yakni kesejajaran kata-kata atau frasa dengan fungsi yang sama. Kanzunnudin 2021a mengemukakan penyejajaran bertujuan untuk menimbulkan kesan bahwa unsur yang disejajarkan sebagai hal atau bagian yang penting atau menonjol. Majas perbandingan ditunjukkan melalui bait I baris kedua /sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting/. Baris kedua ini untuk melebih-lebihkan ketika kemarau datang. Kedatangan musim kemarau diungkapkan pada baris pertama bait I /kalau aku merantau lalu datang musim kemarau/. Baris kedua pada bait I puisi âIBUâ merupakan majas perbandingan berupa hiperbola, yakni melebih-lebihkan keadaan atau melebihi sifat dan kenyataan yang sesungguhnya. Majas perbandingan juga ditunjukkan dalam bait IV baris pertama /bila kasihmu ibarat Samudra/. Kasih saya ibu dimetaforakan sebagai Samudra, yakni yang sangat luas dan tidak pernah habis airnya. Hal ini menunjukkan bahwa kasih sayang seorang ibu tiada batas dan tidak pernah habis. Baris pertama bait IV tersebut merupakan bentuk majas perbandingan berupa metafora. Pada bait VI baris pertama, juga mengandung majas perbandingan / ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala/. Keanggunan dan kecantikan ibunya si âakuâ lirik dimetaforakan sebagai bidadari yang berlendang bianglala. Pelangi merupakan sebuah pemandangan di langit yang sangat anggun, indah, dan memesona. Warna Pelangi di langit munculnya pada waktu-waktu tertentu. Suatu ilustrasi seorang ibu yang sangat luar biasa. Mengenai majas pertentangan diungkapkan melalui bait I pada baris kedua dipertentangkan dengan baris ketiga, yakni /sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting/hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir/. Berhubung musim kemarau tiba maka sumber mata air mengering, sumur-sumur juga mengering. Bahkan daunan dan ranting pohon berjatuhan. Akan tetapi, air mata seorang ibu tidak pernah mengering dan terus mengalir. Majas pertentangan juga diperlihatkan pada bait III baris kelima /aku mengangguk meskipun kurang mengerti/. Dalam berbagai budaya, apabila seseorang âmenganggukâ maka mengisyaratkan bahwa orang yang bersangkutan menyatakan persetujuan, penerimaan, memahami atau rasa tahu. Akan tetapi, yang diungkapkan dalam bait III baris kelima bertentangan, yakni si âakuâ lirik menggangguk tetapi tidak tahu. Dalam konteks ini berlaku kondisi IBUâ menggunakan majas penegasan, perbandingan, dan majas pertentangan. Hal menunjukkan bahwa Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 192penyair menyadari kehadiran maja dalam puisi sangat penting. Sebagaimana ditandaskan oleh Waluyo, 2010, bahwa memiliki efektivitas dalam 1 menghasilkan kesenangan imajinatif, 2 hal-hal yang abstrak menjadi konkret sehingga puisi lebih nikmat dibaca, 3 menambah intensitas perasaan dan sikap penyair dalam puisi, dan 4 mengkonsentrasikan makna yang disampaikan penyair kepada pembaca. VeriîżkasiMeskipun puisi âIBUâ menggunakan diksi sederhana, yakni bahasa akrab atau bahasa sehari-hari tetapi tetap mempertimbangan bunyi. Hal ini disadari oleh penyair karena bunyi menghasilkan rima. Rima akhir dalam puisi âIBUâ terdapat pada bait kedua baris pertama dan kedua /bila ku merantau/sedap kopyor Susumu dan ronta kenalanku/. Juga pada bait III baris ketiga dan keempat /ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi/aku mengangguk meskipun kurang mengerti/.Bait IV baris ketujuh, kedelapan, dan kesembilan /namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu/lantaran aku tahu/engkau ibu dan aku anakmu/. Bait V yang terdiri atas dua baris, sangat memperhatikan rima akhir /bila aku berlayar lalu datang angin sakal/ Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal/. Begitu juga bait terkahir atau bait VI pada baris kedua, ketiga, dan keempat, juga mengutamakan rima akhir /sesekali datang padu/ menyuruhku menulis langit biru/dengan sajakku/. Dalam puisi âIBUâ juga terdapat rima awal pada bait IV baris ketiga dan keempat /tempatku mandi, mencuci lumut pada diri/tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh/. Pengunaan rima dalam puisi âIBUâ, menunjukkan bahwa penyair yang bersangkutan menyadari bahwa rima dalam puisi sangat penting fungsinya. Sebagaimana dinyatakan oleh Waluyo, 2010, bahwa rima menjadikan puisi itu merdu jika dibaca dan mendukung perasaan dalam suasana puisi. Rima dalam puisi juga untuk menimbulkan daya estetika atau keindahan. Diungkapkan oleh Sayuti, 2010 bahwa yang menjadi pertimbangan utama ada rima, yakni untuk memunculkan efek keindahaan dalam puisi. Hal ini dengan pernyataan Siswantoro, 2010, rima bertujuan untuk menimbulkan aspek artsistik dalam puisi. TipograîżTipografi sebagai susunan baris-baris atau bait-bait dalam puisi, terutama sebagai pembeda dengan bentuk karya sastra yang lain, yakni drama dan prosa. Berkaitan dengan tata wajah atau tipografi, puisi âIBUâ memiliki tipografi yang sederhana atau biasa. Puisi âIBUâ disusun berdasarkan bait-bait, yakni terdiri atas enam bait. Tiap baitnya terdiri atas 2 baris sampai 9 baris. Bait yang hanya terdiri atas 2 baris, yakni bait V, sedangkan bait yang paling banyak barisnya, yakni bait IV, terdiri atas 9 baris. Susunan antara bait yang satu dengan bait yang lain berpola biasa. Begitu pula susunan baris dalam tiap bait juga berpola biasa. Tipografi dengan pola sederhana dalam puisi âIBUâ memiliki kesesuaian dengan diksi yang sederhana. Kesederhanaan atau kelugasan tipografi sangat mendukung makna dan suasana puisi. Bagaimana eksistensi dan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya yang begitu utama dan mulia. Hal sesuai dengan pendapat Sayuti, 2010, bahwa penyusunan tipografi dalam pusi mempunyai tujuan 1 sekadar untuk keindahan indrawi, agar susunan puisi tampak indah dipandang; dan 2 untuk mendukung pengedepanan makna, rasa, dan suasana puisi âIBUâ ternyata memanfaatkan tipografi sebagai pendukung makna, rasa, dan suasana puisi. 183 â 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 193Struktur Batin Perasaan Perasaan sebagai suasana hati yang diungkapkan dan sikap penyair dalam menghadapi permasalahan yang dituangkan dalam puisi. Perasaan seorang anak terhadap Ibu yang begitu dalam. Perasaan seorang anak yang sangat menghormati ibunya. Perasaan seorang anak yang memiliki prinsip bahwa eksistensi seorang ibu tidak bisa digantikan oleh siapa dan apa saja. Perasaan itu ditunjukkan oleh salah satu bait, yakni bait III pada baris 1 sampai 4 /bila aku merantau/sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku/di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan/lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar/. Baris-basis puisi tersebut mengungkapkan rasa kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Meskipun anaknya nakal tetapi sang ibu tetap menyayangi. Adapun seorang anak semakin merasakan begitu kautnya kasih sayang ibunya, ketika ia berada di tempat rantauan. Oleh sebab itu, keberadaan seorang ibu tidak dapat digantikan oleh siapa dan apa saja. Begitu juga, jasa-jasa seorang itu tidak bisa ditukar dengan apa saja dan sampai kapan saja / lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar/. Dalam puisi âIBUâ, sikap seorang anak terhadap ibunya sangat tegas, yakni seorang ibu sebagai pahlawan. Sikap ini diungkapkan dalam bait IV baris keenam sampai sembilan /kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan/namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu/lantaran aku tahu/engkau ibu dan aku anakmu/. Bait IV tersebut mengungkap sikap penyair yang sangat tegas dan jelas bahwa seorang ibu ibunya merupakan seorang pahlawan yang utama. Ungkapan dalam bait IV tersebut sejalan dengan keyakinan yang dianut oleh penyair, yakni Islam. Dalam Islam kedudukan seorang ibu sangat penting dan mulia bagi seorang anak. TemaTema sebagai gagasan utama atau pokok yang diungkapkan penyair, melandasi lahirnya sebuah puisi. Tema dalam puisi âIBUâ, yakni tentang âibuâ. Keberadaan seorang ibu dengan berbagai kedudukannya, kasih sayangnya, dan perannya; yang tidak bisa tergantikan oleh apa pun dan siapa pun. Semua bait dalam puisi menyebutkan kata ibu. Sejak bait I hingga bait VI bait terakhir, kata âIbuâ selalu muncul. Bait I baris ketiga menyebut kata ibu /hanya mata air air mata ibu, yang tetap lancar mengalir/. Baris menandaskan betapa air ibu yang bisa berwujud kesedihan, kegembiraan, kasih sayang, dan doa, tidak pernah berhenti mengalir untuk kebahagiaan anaknya. Pada bait V terdiri atas dua baris, mengungkapkan peran seorang ibu dalam menunjukkan arah hidup anaknya /bila aku berlayar lalu datiang angin sakal/Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal/. Begitu juga pada bait terakhir, yakni bait VI yang terdiri atas empat baris, mengungkapkan kemuliaan seorang ibu yang mengajari anaknya untuk melakukan sesuatu yang baik /ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala/sesekali datang padaku/menyuruhku menulis langit biru/dengan sajakku/. Nada atau SuasanaNada sebagai sikap seorang penyair terhadap pembaca, dalam puisi âIBUâ sangat lugas. Penyair tidak menggurui, tidak menasihati, tidak mengejek, dan tidak menyindir. Penyair secara lugas mengungkapkan sikapnya terhadap eksistensi seorang ibu terhadap seorang anak. Eksistensi seorang ibu diungkapkan oleh penyair melalui tokoh anak dalam puisi sehingga pemahaman terhadap keududukan seorang ibu mengalir secara alamiah. Penyair tidak mengungkapkan kedudukan seorang ibu dengan pola definisi atau pengertian yang melahirkan nada menasihati. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam beberapa bait Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 194dan baris. Misalnya dalam bait I yang terdiri atas 3 baris /kalua aku merantau lalu datang musim kemarau/sumur-sumur kering, daunan pun gugurbersama reranting/hanya mata air air mata ibu, yang tetap mengalir/. Juga dalam bait V yang terdiri atas dua baris /bila aku berlayar lalu datang angin sakal/ Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal/. Mengenai suasana yang diciptakan penyair mengantarkan pembaca berkontem-plasi atau termenung menghayati eksistensi dan kedudukan seorang ibu. Betapa sangat pentingnya kedudukan seorang ibu bagi seorang anak. Kedudukan seorang ibu tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Seorang anak tidak dapat membalas jasa seorang ibu. Sebagaimana ditandaskan dalam bait II baris ke-4 /lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar/. Setelah melakukan âpermenunganâ melahirkan suasana âmenyayati hatiâ. Suasana ini diperlihatkan pada bait IV /bila kasihmu ibarat samodra/sempit lautan teduh/ tempatku mandi, mencuci lumut pada diri/tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh/lakon-lakon, mutiara dan kembang laut semua bagiku/ kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan/ namamu ibu, yang kan ku sebut paling dahulu/lantaran aku tahu/ engkau ibu dan aku anakmu/. Keterkaitan antara nada dan suasana ditunjukkan oleh puisi âIBUâ. Dengan nada lugas melalui diksi sederhana melahirkan suasana kontemplasi yang menyayati hati bagi pembaca. Hal sesuai dengan pendapat Waluyo, 2010, nada dan suasana saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana iba hati pembaca. AmanatSetelah memahami tentang tema, rasa, nada dan suasana, pembaca dapat mengetahui amanat yang disampaikan oleh penyair dalam puisinya. Amanat dalam puisi âIBUâ, yakni eksistensi dan kedudukan seorang sangat utama dan sangat penting dalam hidup seorang anak. Oleh sebab itu, seorang anak tidak boleh berlaku atau bertindak sewenag-wenang terhadap ibu. Apalagi melupakan jasa seorang ibu. Seorang anak harus dapat dan selalu mejaga keutamaan dan kemuliaan seorang ibu. Analisis Semiotik Roland BarthesKode HermeneutikKode hermeneutik ditandai dengan dengan pertanyaan-pertanyaan atau tanda tanya sehingga menimbulkan penasaran bagi pembaca untuk menafsirkan jawabannya, ditunjukkan pada bait IV baris ke-6 /kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan/. Baris itu menyarankan sebuah pertanyaan tentang âsiapa yang dimaksudkan dengan pahlawan?â Oleh karena itu, baris keenam bait IV tersebut merupakan kode hermeneutik karena menunjukkan sebuah pertanyaan yang perlu memperoleh jawaban. Pertanyaan tersebut dikemudian dijawab oleh baris ketujuh /namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu/. Dalam konteks ini membuktikan bahwa jawaban atas pertanyaan itu ada dalam teks puisi. Oleh sebab itu, pembicaraan itu berada dalam dimensi kode hermeneutik. Sebagaimana dinyatakan Waluyo, 2010, dalam puisi maknanya tersembunyi sehingga menimbulkan tanda tanya pembaca. Hal itu dimunculkan dalam bentuk pertanyaan dalam teks dan jawabannya berada rangkaian baris berikutnya atau dalam teks selanjutnya. Kode Semik atau Konotatif Kode semik disebut juga sebagai petanda dari konotasi. Hal ini menunjukkan bahwa makna yang ditafsirkan dalam puisi berupa makna konotatif. Oleh karena itu, pembaca dalam menghadapi atau membaca puisi harus bersiap-siap dengan bahasa yang khas. Kode semik ini menawarkan banyak sisi dan memberikan pertanyaan kepada pembaca untuk memaknai atau menami atau 183 â 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 195menangkap konotasi dimunculkan oleh kode yang bersangkutan. Contoh kode semik dalam puisi âIBUâ terdapat dalam bait II yang terdiri atas empat baris berikut ini.1 bila aku merantau2 sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku3 di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan4 lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar Pada baris kedua terdapat kode konotasi âsedap kopyor susumuâ. Kode konotasi yang berdimensi imaji pencecapan, tersebut mengantarkan makna bahwa rasa air susu ibu sangat enak. Diibaratkan seperti rasa kelapa kopyor, yakni jenis buah kelapa yang langka, rasanya sangat enak, nilai ekonominya tinggi karena harganya mahal dan banyak dicari orang. Kode konotasi yang mengantarkan kepada pemahaman bahwa âair susu ibuâ tidak ada paralelismenya. Dalam baris ketiga ada kode konotasi âmayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduanâ. Kode konotasi itu mengantarkan makna kias berkaitan rasa kangen atau rindu atau kerinduan seorang anak yang berada di tanah rantau atau perantaun kepada ibunya. Rasa rindu seorang anak yang berada jauh di rantauan kepada sang ibu yang sangat dalam, berunga-bunga atau mengebu-gebu. Rasa rindu itu dikonotasi dengan âmayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduanâ. Rasa rindu seorang anak kepada ibunya tidak bisa dihalangi atau dipisahkan oleh siapa dan apa pun. Sebagaimana âputik dan sariâ. Kode semik dalam puisi âIbuââ sangat kuat. Konteks ini sesuai yang dinyatakan Sunahrowi, 2019, bahwa dalam teori semiotik Roland Barthes, kode semik atau konotasi memiliki peran yang sangat kuat dalam teks. Kode SimbolikSebagaimana telah dijelaskan pada bagian kerangka teori, bahwa kode simbolik sangat erat kaitannya dengan kode konotatif. Oleh karena itu, kode simbolik berdimensi bahasa sastra yang mengungkapkan atau melambangkan suatu dengan hal lain. Pada sisi lain, kode simbolik muncul dengan ditandai oleh oposisi biner atau pembedaan balik. Bait VI yang terdiri atas empat baris, contoh kode simbolik berkaitan dengan dimensi konotasi dengan cara pengungkapkan yang bermakna lain. 1 ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala2 sesekali datang padaku 3 meneyuruhku menulis langit biru4 dengan sajakku Pada baris pertama ibuâ dikonotasikan sebagai bidadari yang berlendang bianglala. Konotasi itu berdimenasi makna bahwa seorang ibu seperti seorang dewi yang selalu ikhlas menolong siapa saja yang berbuat baik, terutama kepada anaknya. Dalam budaya Jawa ada cerita rakyat âDewi Nawang Wulan dan Jaka Tarubâ. Dewi Nawang Wulan merupakan seorang bidadari yang turun ke bumi kemudian menikah dengan Jaka Tarub karena sesuatu hal dan mempunyai anak bernama Nawangsih. Meskipun akhirnya Dewi Nawang Wulan kembali ke Khayangan karena Jaka Tarub mengingkari janji, tetapi Dewi Nawang Wulan tetap setia dan selalu mengawasi dan menolong Nawangsih, terutama jika Nawangsih sedang dirundung masalah. Kata bianglala padanan kata pelangi. Ketika ada Pelangi di langit melahirkan pemandangan yang sangat indah karena penuh warna-warni. Sebuah pemandangan yang menyejukan hati dan melahirkan kegembiraan serta ketenangan atau kedamaian. Oleh karena itu, baris pertama /ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala/ sesekali datang Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 196padaku/ mengantarkan pemahaman bahwa kehadiran seorang ibu tidak harus diminta oleh anaknya. Begitu juga, kehadiran seorang dapat menentramkan, menenangkan, dan mengembirakan hati anaknya. Bahkan kehadiran seorang ibu dapat membangkitkan semangat hidup bagi anaknya. Pada baris ketiga dan keempat /menyuruhku menulis langit biru/dengan sajakku/ menunjukkan keterkaitan makna. Klausa menulis langit biru berdimensi makna masa depan yang cerah, optimis, penuh harapan. Adapun kata sajakku memberikan dimensi pengertian hidup atau kehidupan. Bagi penyair, sajak merupakan sebuah kehidupan dirinya. Bagi penyair, sajak merupakan nafas kehidupannya. Penyair dan sajak tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, baris ketiga dan keempat tersebut mengantarkan pemahaman bahwa seorang ibu sedang menasihati anaknya agar dapat menjalani hidup dan kehidupan yang penuh optimis dan penuh harapan. Mengenai kode simbolik yang diungkapkan melalui oposisi biner atau pembedaan balik dalam bait II yang terdiri atas empat baris berikut ini.1 bila aku merantau2 sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku3 di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan4 lataran hutangku padamu tak kuasa kubayar Pada baris kedua menunjukkan adanya oposisi biner sebagai wujud kode simbolik, yakni /sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku/. Sekuen kedua mengungkapkan aspek pembedaan balik antara /sedap kopyor susumu/ dengan /ronta kenakalanku/. Frasa âsedap kopyor susumuâ mengungkapkan makna bahwa susu seorang ibu rasanya sangat enak sekali dan tidak ada yang menyamainya. Adapun frasa âronta kenakalankuâ menunjukkan makna tentang kenalan seorang ada. Dalam konteks frasa tersebut menunjukkan adanya oposisi biner berupa sesuatu yang baik berbanding terbalik dengan sesuatu yang jelek, yakni perilaku nakal. Oleh sebab itu, keberadaan oposisi biner diperlihatkan oleh frasa âsedap kopyor susumuâ yang menunjukkan pembedaan balik dengan frasa âronta kenakalankuâ. Kode Proaeretik Kode proaeretik merupakan kode lakuan atau tidakan dalam puisi âIbuâ ditunjukkan pada bait III yang terdiri atas lima baris.1 ibu adalah gua pertapaanku2 dan ibulah yang meletakkan aku di sini3 saat bunga kembang menyemerbak bau sayang4 ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi5 aku mengangguk meskipun kurang mengerti Dalam baris keempat /ibu menunjuk langit, kemudian ke bumi/aku mengangguk meskipun kurang mengerti/ dan baris kelima /aku mengangguk meskipun kurang mengerti/. Kedua baris tersebut menunjukkan adanya kode aksian, yakni pada baris keempat tokoh ibu melakukan tindakan atau perbuatan berupa menunjuk ke langit dan ke bumi. Kode perbuatan atau kode aksian juga diperlihatkan pada baris kelima, yakni si âibuâ melakukan perbuatan atau tindakan berupa âmenganggukâ. Kode proaeretik dalam baris keempat dan kelima bait III merupakan kode aksian yang saling berkaitan antara âibuâ dengan si âakuâ. Si âibuâ melakukan perbuatan menunjuk ke langit dan ke bumi, kemudian si âakuâ lirik langsung menanggapi dengan mengangguk. Dalam konteks jenis bahasa, menurut Kanzunnudin 2021a, bahwa bahasa kode, yakni cara berkomunikasi dengan menggunakan isyarat. Adapun mengangguk dalam bahasa kode atau bahasa isyarat berarti menyetujui. 183 â 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 197Kode aksian pada bait III tersebut mengungkapkan pengertian bahwa si âakuâ lirik menyetujui apa yang dilakukan oleh sang âibuâ meskipun si âakuâ lirik kurang mengerti apa yang dimaksudkan sang âIbuâ. Bait V yang terdiri atas 9 baris, juga menunjukkan adanya kode proaeretik sebagai berikut.1 bila kasihmu ibarat samudra2 sempit lautan teduh3 tempatku mandi, mencuci lumut pada diri4 tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh5 lokan-lokan, Mutiara dan kembang laut semua bagiku6 kalua ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan7 namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu 8 lantaran aku tahu9 engkau ibu dan aku anakmuPada baris ketiga dan keempat /tempatku mandi, mencuci lumut pada diri /tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh/, menandakan ada kode aksian. Si âakuâ lirik melakukan perbuatan atau tindakan berupa aktivitas mandi, mencuci kotoran yang menempel pada dirinya. Adapun pada sisi lain baris keempat, si âakuâ lirik juga melakukan tindakan berlayar, kemudian dilanjutkan dengan tidakan berupa menebar pukat dan melempar sauh. Bait VI yang mempunyai empat baris, juga terdapat kode proaeretik. 1 ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala2 sesekali datang padaku3 menyuruhku menulis langit biru4 dengan sajakku Baris kedua dan ketiga menunjukkan kode aksian. Dalam baris kedua kode perbuatan diungkapkan melalui âibuâ sesekali mendatangi si âakuâ lirik. Adapun dalam baris ketiga juga memiliki kode proaeretik, yakni âibuâ menyuruh si âakuâ lirik untuk menulis harapan-harapan tentang masa proaeretik atau aksian, perbuatan, Tindakan dalam puisi âIbuâ ternyata ditampilkan lebih dari sekali. Hal ini membuktikan bahwa kode proaeretik mempunyai fungsi penting dalam puisi âIbuâ. Kode proaeretik atau kode Tindakan merupakan perlengkapan utama teks yang dibaca orang Sunahrowi, 2019. Mengenai hal menghadirkan kode proaeretik dalam puisi âIbuâ, sang penyair menyusun secara runtut, yakni dimulai dari bait awal kemudian ke bait berikutnya. Begitu juga kemunculan kode aksian dalam bait, disusun secara urut sesuai dengan peristiwa tindakan, sehingga membentuk rentetan peristiwa atau lakuan atau tindakan dan saling berkaitan. Hal ini sesuai pernyataan Waluyo, 2010, dalam karya sastra perbuatan, gerak , atau alur pikiran penyair merupakan rentetan yang membentuk garis linier. Kode Kultural atau BudayaKode budaya dalam karya sastra bisa berkaitan dengan bahasa pemakain kata, frasa, klausa, kalimat, dan ungkapan, benda-benda, dan bentuk-bentuk atau pola tindakan manusia yang terdapat dalam teks puisi. Puisi âIbuâ, penyair secara eksplisit memunculkan kode budaya yang berkaiatan langsung dengan geografis dimana ia dilahirkan, dibesarkan, dan tinggal. Kode budaya diungkapkan dalam bait II sebagai berikut. 1 bila aku merantau2 sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku3 di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan4 lataran hutangku padamu tak kuasa kubayar Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 198Frasa âsedap kopyorâ dan âmayang siwalanâ merupakan frasa yang mengindentifikasikan berkaitan dengan budaya pantai atau pesisir. Pohon kelapa dan siwalan banyak tumbuh dan berkembang di daerah pantai. Budaya dan masyarakat pantai atau pesisir memiliki karakteristik terbuka, lugas, dan egaliter budayanya sangat terbuka. Dalam budaya pesisir, masyarakatnya apabila berbicara langsung ke pokok persoalan dengan bahasa yang sederhana. Dalam berinteraksi dengan sesama menekankan pada subtansi apa bukan pada cara mengekspresikannya bagaimana. Kode budaya tersebut sangat erat kaitannya dengan bahasa atau diksi yang dipilih oleh penyair, yakni diksi lugas dan sederhana tidak dengan diksi yang berbunga-bunga. Hal ini sepadan dengan apa yang disampaikan oleh penyair kepada pembaca bukan bagaimana cara menyampaikannya. Sejalan dengan pendapat Thohir, 2006, masyarakat pesisir memiliki karakteristik terbuka, lugas, dan egaliter. Sikap terbuka berkaitan tata ruang fisik lingkungan alam pesisir yang terbuka dan tata ruang sosial interaksi dengan pihak luar, juga terbuka. Sikap lugas diperlihatkan oleh masyarakat pesisir jika berbicara langsung pada pokok persoalan dengan bahasa yang sederhana. Sikap egaliter ditunjukkan melalui prinsip bahwa antara manusia yang satu dengan manusia yang lain mempunyai kedudukan atau derajat sama. Kode budaya diungkapkan juga pada bait IV yang memiliki sembilan baris. 1 bila kasihmu ibarat samudra2 sempit lautan teduh3 tempatku mandi, mencuci lumut pada diri4 tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh5 lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku6 kalua ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan7 namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu 8 lantaran aku tahu9 engkau ibu dan aku anakmuBaris keempat /tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh/ dan baris kelima /lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku/, semakin mempertegas bahwa budaya yang diangkat dalam puisi âIBUâ, yakni budaya pesisir. Dalam ranah kebudayaan bahwa salah satu unsur kebudayaan berupa sistem mata pencaharian hidup. Puisi âIBUâ si âakuâ lirik mata pencaharian hidupnya sebagai pencari ikan atau nelayan. Dikaitkan dengan konteks unsur kebudayaan, maka sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat, 1990, bahwa setiap kebudayaan yang ada di dunia memiliki tujuh unsur pokok, yakni 1 bahasa, 2 sistem pengetahuan, 3 organisasi sosial, 4 sistem peralatan hidup dan teknologi, 5 sistem mata pencaharian hidup, 6 sistem religi, dan 7 langsung antara kode budaya dalam puisi merupakan suatu ikatan yang tidak terpisahkan, yakni hubungan si âakuâ lirikâ penyair sebagai anggota masyarakat dengan budayanya. Hal ini sangat jelas dan eksplisit diungkapkan dalam puisi âIBUâ melalui diksi, kata konkret, kode proaeretik, dan kode simbolik. Keterkaitan penyair seseorang sebagai dengan budayanyaPENUTUP Hasil analisis berdasarkan struktur, puisi âIBUâ karya D. Zawawi Imron memiliki struktur fisik berupa 1 diksi sederhana atau lugas dengan memanfaatkan bahasa sehari-hari yang menjadi komunikasi dalam puisi sangat efektif; 2 imajinasi atau citraan yang mencakupi imaji visual, kinestetik, penciuman, dan pencecapan; 3 kata konkret yang dimnfaatkan penyair untuk menimbulkan daya efektivitas dalam berkomunikasi dengan pembaca; 4 majas atau bahasa figuratif, 183 â 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 199meliputi majas penegasan, perbandingan, dan majas pertentangan; 5 verifikasi, menggunakan rima awal dan rima akhir yang menimbulkan efek keindahan dan artistik; dan 6 tipografi dalam puisi âIBUâ polanya sederhana yang berkorelasi dengan diksi yang sederhana dan luas sehingga menguatkan suasana dan makna puisi. Adapun struktur batinnya meliputi 1 perasaan, mengungkapkan kejelasan dan ketegasan penyairnya; 2 tema, mengetengahkan tema tentang ibu, yakni keberadaan seorang ibu, kedudukannya, kasih sayangnya, dan perannya yang tidak bisa tergantikan; 3 nada sebagai sikap penyair sangat lugas dan tidak menggurui, tidak menasihati, tidak mengejek, dan tidak menyindir, sedangkan suasananya mengantarkaan pembaca untuk berkontemplasi dan menghayati eksistensi dan kedudukan seorang ibu; dan 4 amanat, menandaskan bahwa eksistensi dan kedudukan seorang ibu sangat utama dan penting bagi kehidupan seorang anak. Hal ini menunjukkan bahwa secara struktuk fisik dan struktur batin, puisi âIBUâ memiliki kekuatan komprehensif antara bentuk fisik dan batin. Mengenai analisis semiotik Roland Barthes, menunjukkan bahwa puisi âIBUâ memiliki 1 kode hermeneutik, ditandai pertanyaan atau tanda tanya dalam teks puisi yang dijawab oleh baris-baris puisi berikutnya; 2 kode semik atau konotatif, sebagai petanda konotatif yang menunjukkan puisi âIBUâ memiliki kekuatan makna taksa; 3 kode simbolik, yang merupakan kode sastra berkaitan dengan konotatif terdapat dalam puisi âIBUâ sehingga melahirkan imaji makna sangat kuat; 4 kode proaeretik, sebagai kode lakukan atau tindakan, dalam puisi âIBUâ ditampilkan secara runtut dari awal bait hingga baik berikutnya; dan 5 kode kultural atau budaya, diungkapkan secara eksplisit yang berhubungan langsung dengan budaya masyarakat pesisir yang bercirikan terbuka, lugas, dan egaliter. Hasil analisis ini membuktikan bahwa puisi âIBUâ secara semiotik memenuhi teori semiotik Roland Barthes. Oleh sebab itu, puisi âIBUâ berdasarkan semiotik Roland Barthes, memiliki kekuatan bentuk dan isi sebagai karya sastra yang memiliki fungsi estetik, padat dalam puisi tidak semua peristiwa diceritakan, dan ekspresi tidak langsung puisi sebagai sistem tanda atau penuh dengan tanda.DAfTAR PUSTAKAAltenbernd, L., & Lewis, L. L. 1970. A Handbook for the Study of Poetry. The Macmillan 1995. Stilistika Pengantar memahami Bahasa dalam Karya Sastra. IKIP Semarang R. 2010. Image/Music/Text Essay Selected and Translated Stephen Health. Penerjemah Agustinus Hartono J. 1975. Stucturalist Poetics. Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. Routledge and Kegan Z. 2002. Telaah Sastra. Muhammadiyah University Dendy, F., Nofianty, & Kurnia. 2018. Analisis Struktur Batin Dan Struktur Fisik Pada Puisi âIbuâ Karya D. Zawawi Imron. Parole Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 15, 721â T. 1977. Sturcturalism & Semiotics. Methuen & Co. M. 2021a. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Universitas Muria M. 2021b. Nilai Sosial dalam Cerita Lisan âMbah Suto Bodoâ di Kabupaten Pati. Indonesian Language Education and Literature, 71, 152. 1983. An Introduction to îżction. Little Brown and Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 200Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka A. A. 2021. Analisis Semiotik Puisi Engkau Karya Muhammad Zuhri. Widyaparwa, 492, 442â453. L. J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung Remaja 2016. Analisis Stilistika Serta Nilai-Nilai Religius 10 Puisi dalam Kumpulan Puisi Mata Badik Mata Puisiâ Karya D. Zawawi Imron. Widya Dharma 2018. Simbolis Puisi Padamu Jua Karya Amir Hamzah Dari Kajian Semiotik. Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 31, 49â A. M. N., Shahri, A. R. H., & Seedighi, K. 2016. Semiotics in Haroun Hashem Rashid Lyrics Relying on the Theory of Pierce. International Journal of English Linguistics, 67, 31. R. D. 2000. Pengkajian Puisi. Gadjah Mada University R. D. 2001. Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik. Hanindita Graha A. 1974. Princetown Encyclopedia of Poetry and Poetics. Princetown University A. 2001. Semiotik Semiologi. Hanindita Graha M. 2013. Analisis Stilistika dan Nilai Pendidikan Kumpulan Puisi Mata Badik Mata Puisi Karya D. Zawawi Imron. Pascasarjana Universitas Sebelas R. M. 2015. Majas Dalam Kumpulan Puisi Bantalku Ombak Selimutku Anginâ Karya D. Zawawi Imron. Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Sumatra N. K. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Peneleitian Sastra. Pustaka N. K. 2013. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Pustaka J. 1978. Understanding Poetry. Heyneman Educational M. 1978. Semiotics of Poetry I. U. Press ed..Sayuti, S. A. 2010. Berkenalan dengan Puisi. Gama O., & D. Zawawi, I. 2017. Segugus Percakapan Cinta di bawah Matahari âAntologi Dua Penyair Malaysia-Indonesia.â Yayasan Pustaka Obor 2010. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Pustaka 2019. Semiotik Roland Barthes. Y. Y. 2018. Kajian Semiotika Godlob Danarto dalam Perspektif Teeuw. Sanata Dharma University A. 1983. Tergantung Pada Kata. Pustaka A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta Balai M. 2006. Orang-Orang Islam Pesisiran. Semarang Fasindo H. J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Widya Sari N. E. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Universitas Sebelas Maret â 200 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Mohammadi Nejad PashakiAhmad Reza Hidarian ShahriKolsom Seedighip>Today semiotics mainly influenced by Pierceâs thoughts and demarches has become an independent discipline which is used as an interdisciplinary aspect of text analysis. This approach, which uses linguistics, sociology, literature, and so forth is an efficient method of analysis. Semiotic analysis of the works in Arabic literature could lay the groundwork for a new reading of them, leading to better understanding of the texts. While introducing literary semiotics, this paper thus examines the poetry of Haroun Hashem Rashid based on the approach in question. It also appears that the encryption is related to the creator, aesthetics, text interrelationship, time, place, and the form of a poem. Given the work of Haroun Hashem Rashid, a number of roles are presented that rebuild a powerful relationship within a turbulent life, which is fluctuating between the pleasant and unpleasant symptoms. This associates likely and widespread meanings with the pure human being concepts. The results show that there is a high reliance on hypertext elements and the events of the authorâs life in his poetry in addition to the text elements. However, of all the most frequent indices of his poetry, time, characters, and the indications of locations can be noted.
AnalisisPuisi Angkatan 2000 Analisis Puisi Tahun 2000. Dosen Pengampu: Wachid Eko Purwanto, S.Pd c. D. Zawawi Imron dilahirkan di Batang-batang, Sumenep, 19 September, terkenal sebagai penyair otodikak berpendidikan pesantren asal Madura. Karya-karyanya berupa kumpulan puisi : Madura, Akulah Lautmu (1978), Bulan Tertusuk Lalang (1982
SYURIANTI. S STB 2009 310 200 08 SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Puisi sebagai karya sastra yang merupakan karya seni yang bersifat imajinatif di dalamnya terdapat estetik keindahan. Salah satu puisi yang cukup menarik untuk dianalisis adalah puisi âIbuâ karya D. Sawawi Imron karena merupakan puisi yang mempunyai pesan-pesan. Pesan atau amanat dalam karya sastra cukup penting karena pesanlah yang bisa menjadikan karya sastra itu berkualitas. Pesan adalah tujuan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca atau peminat sasra. Hunt 1980 20 mengungkapkan bahwa puisi merupakan bentuk ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan merangsang imajinasi panca indra dalam susunan berirama. Setiap puisi memberi kesan kepada penikmatnya. Kesan itu berupa munculnya perasaan nikmat ketika untaian kata-kata dalam puisi menyentuh kalbu atau tertangkapnya nilai-nilai dalam puisi. Puisi lahir tidak dari kekosongan budaya artinya puisi lahir sebagai wujud ungkapan, baik berupa kritik, dukungan maupun amarah terhadap realitas alam sosial budaya dan masyarakat. Puisi merupakan sebuah struktur atau susunan unsur-unsur yang bersistem terjadi hubungan timbal balik. Unsur dalam karya sastra tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait dan saling bergantungan. Puisi sebagai ungkapan pikiran dan perasaan atau sebagai alat ekspresi. Dalam penyampaian idenya tersebut sastrawan tidak bisa dipisahkan dari latar belakang dan lingkungannya. Puisi sebagai bentuk komunikasi sastra tidak akan terlepas dari peranan pengarang sebagai pencipta sastra. Puisi lebih mengutamakan intuisi, imajinasi, dan sintesis. Ketika seseorang sedang sedih, sedang jatuh cinta dan sebagainya orang kaya dengan imajinasi tentu puisi adalah alatnya. Analasis puisi ini penulis sangat tertarik untuk mengetahui pesan-pesan apa yang terkandung dalam puisi âIbuâ Karya D. Sawawi Imron. Adapun alasan mengambil judul Analisis Pesan dalam Puisi âIbuâ yaitu karena penulis ingin mengetahui pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam puisi tersebut. Pesan itu merupakan hal penting yang harus ada dalam sebuah karya sastra. Pesan yang terdapat dalam karya sastra khususnya puisi, itu perlu diketahui peminat atau penikmat. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini. Bagaimanakah pesan dalam puisi âIbuâ karya D. Sawawi Imron? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah dalam penulisan ini, tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mendeskripsikan pesan dalam puisi âIbuâ karya D. Sawawi Imron. D. Manfaat Hasil Penelitian Manfaat penulisan ini antara lain 1. Sebagai penunjang dan inspirasi bagi kalangan mahasiswa dalam menganalisis puisi. 2. Sebagai referensi dalam bidang sastra khususnya puisi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Puisi Puisi merupakan salah satu bentuk genre sastra yang berbeda dengan bentuk prosa atau drama. Sebagai salah bentuk karya sastra, puisi pun terdiri dari beberapa jenis. Sebelum terlalu jauh membicarakan perihal puisi, ada baiknya jika pengertian mengenai hal itu didahulukan. Beberapa rumusan mengenai ditinjau dari berbagai pendekatan dikemukakan oleh Mulyana berdasarkan pendekatan psikolinguistik, ia menyimpulkan bahwa puisi adalah sintesis dari pelbagai proses jiwa yang mencari hakikat pengalamanya, tersusun tersusun didasarkan pada pendekatan struktural mengatakan bahwa puisi adalah kata-kata terbaik dalam susunan terbaik. Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan -poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter dalam Tarigan, 19864 menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi. Shahnon Ahmad dalam Pradopo, 19936 mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut. a. Coleridge 19885 mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya. b. Carlyle 198625 mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi. c. Wordsworth 197849 mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur. d. Dunton 1970 40 berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya, dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur. e. Shelley 1980 124 mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam. Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad dalam Pradopo, 19937 menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur. 2. Unsur-Unsur Puisi Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi a Richards dalam Tarigan, 1986 60 mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari 1 hakikat puisi yang melipuiti tema sense, rasa feeling, amanat intention, nada tone, serta 2 metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima. b Waluyo 1987 90 yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang. c Altenberg dan Lewis dalam Badrun, 19896, meskipun tidak menyatakan secara jelas tentang unsur-unsur puisi, namun dari outline buku mereka bisa dilihat adanya 1 sifat puisi, 2 bahasa puisi diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, 3 bentuk nilai bunyi, verifikasi, bentuk, dan makna, 4 isi narasi, emosi, dan tema. d Dick Hartoko dalam Waluyo, 198727 menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi. e Meyer dalam Badrun, 19896 menyebutkan unsur puisi meliputi 1 diksi, 2 imajeri, 3 bahasa kiasan, 4 simbol, 5 bunyi, 6 ritme, 7 bentuk . Secara sederhana batang tubuh puisi terbentuk dari beberapa unsur, yaitu kata, larik, bait, bunyi, dan unsur ini saling mempengaruhi keutuhan sebuah puisi. Secara singkat bisa diuraikan sebagai berikut 1. Kata, adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata diksi yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik. 2. Larik baris, mempunyai pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buah, tapi pada puisi baru tak ada batasan. 3. Bait, merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna. 4. Bunyi, dibentuk oleh irama dan rima. Rima persajakan adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau katra-kata dalam larik dan bait. Sedangkan irama ritme adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perualangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait, tekanan-tekanan kata yang bergantian keras-lemahnya karena sifat-sifat konsonan dan vokal, atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musiklasasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan. 5. Makna, adalah unsur tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi disampaikan. Adapun secara lebih detail, unsur-unsur puisi dibedakan menjadi a. Unsur Intrinsik Puisi merupakan karya sastra yang diatur oleh konvesi prosodi dan metrum, sehingga menimbulkan dua unsur yang signifikan dalam membangun karya sastra tersebut, yakni unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Adapun unsur intrinsik puisi tersebut adalah sebagai berikut. 1. Tema sense, yaitu pokok persoalan subject matter, suatu ide, gagasan atau hal yang hendak dikemukakan oleh penulis, baik tersurat atau tersirat. Contoh pendidikan, sosial, budaya, dan lain-lain. 2. Tipografi disebut juga ukiran bentuk puisi, yaitu tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata dan bunyi untuk menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa dan suasana. 3. Amanat intention, yaitu pesan, maksud/tujuan yang mendorong penyair menulis. 4. Nada tone, yaitu sikap penyair terhadap pembacanya, misalnya sikap rendah hati, menggurui, mendikte, persuasif, dan lain-lain. 5. Perasaan feeling, yaitu sikap pengarang terhadap tema subjek matter dalam puisinya, misalnya simpatik, konsisten, senang, sedih, kecewa, dan lain-lain. 6. Enjambemen, yaitu pemotongan kalimat atau frase diakhir larik, kemudian meletakkan potongan itu pada awal larik berikutnya. Tujuannya adalah untuk memberi tekanan pada bagian tertentu ataupun sebagai penghubung antara bagian yang mendahuluinya dengan bagian berikutnya. 7. Akulirik, yaitu tokoh aku penyair di dalam puisi. 8. Verifikasi, yaitu berupa rima persamaan bunyi pada puisi, di awal, di tengah, dan di akhir; ritma tinggi-rendah, panjang-pendek, keras-lemahnya bunyi. 9. Citraan pengimajian, yaitu gambar-gambar dalam pikiran, atau gambaran angan si penyair. Setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji image. Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata indra penglihatan. 10. Diksi, yaitu pemilihan kata-kata dengan cermat, teliti, dan setepat mungkin oleh penyair. 11. Kata konkret imajinasi, yaitu penggunaan kata-kata yang tepat diksi yang baik atau bermakna denotasi oleh penyair. 12. Gaya bahasa majas, figuratif language, yaitu bahasa kias yang menimbulkan makna konotasi tertentu. b. Unsur ekstrinsik 1. Unsur biografi, yaitu latar belakang atau riwayat hidup penulis, 2. Unsur nilai dalam cerita, seperti ekonomi, politik, sosial, adat-istiadat, budaya, dan lain-lain, serta 3. Unsur kemasyarakatan, yaitu situasi sosial ketika puisi itu dibuat. 4. Amanat atau pesan. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi tema, nada, rasa, amanat, diksi, imaji, bahasa figuratif, kata konkret, ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, dapat dibagi menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi tema, nada, rasa, dan amanat dan struktur fisik puisi diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima. Berdasarkan pendapat Richards, Siswanto dan Roekhan 199155-65 menjelaskan struktur puisi sebagai berikut a. Struktur Fisik Puisi Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut 1 Perwajahan puisi tipografi, yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi. 2 Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey dalam Waluyo, 1998768-69 menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 sembilan aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu, penyimpangan historis penggunaan kata-kata kuno, dan penyimpangan grafologis penggunaan kapital hingga titik. 3 Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara auditif, imaji penglihatan visual, dan imaji raba atau sentuh imaji taktil. Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair. 4 Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret âsalju melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret ârawa-rawaâ dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll. 5 Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan / meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu Soedjito, 1986128. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna Waluyo, 198783. Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-macam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks. 6 Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup 1 onomatope tiruan terhadap bunyi, misal/ ng/yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji 2 bentuk intern pola bunyi aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 18792], dan 3 pengulangan kata /ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi. b. Struktur Batin Puisi Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut 1 Tema/makna sense; media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan. 2 Rasa feeling, yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya. 3 Nada tone, yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll. 4 Amanat/tujuan/maksud itention; sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisi. 3. Pesan Amanat Karya Sastra Pesan atau amanat dalam sebuah karya sastra merupakan hal-hal yang menjadi salah satu tujuan pengarang atau penulis melalui karyanya. Amanat adalah unsur terpenting dalam karya sastra karena melalui amanat penikmat sastra bisa mengetahui dan memehami apa-apa yang ingin disampaikan oleh pengarang. Setiap karya sastra tentu memiliki yang namanya pesan atau amanat. B. Kerangka Pikir Puisi merupakan salah satu karya sastra yang mempunyai unsur estetika atau nilai keindahan. Puisi mempunyai unsur, baik instrinsik maupun unsur ekstrinsik. Dalam puisi terdapat pesan atau amanat yang ingin disampaikan oleh pangarang kepada pembaca. Khususnya pesan dalam merupakan hal penting yang perlu diketahui oleh pembaca atau penikmat puisi . Kerangka pikir dalam âAnalisis Pesan Dalam Puisi âIbuâ karya D. Sawawi Imron dilandasi oleh 1. Adanya keinginan untuk mengetahui pesan-pesan dalam puisi âIbuâ karya D Sawawi Imron. 2. mendeskripsikan pesan-pesan atau amanat dalam puisi âibuâ karya D. Sawawi Imron. Unsur Intrinsik ssstrukturssbatin batin Bagan Kerangka Pikir BAB III METODE PENELITIAN A. Desain dan Variabel Penelitian 1. Desain Penelitian Desain penulisan ini bersifat deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh akan dideskripsikan secara kualitatif. Data yang dideskripsikan tersebut bertujuan menggambarkan analisis pesan dalam puisi âIbuâ karya D. Sawawi Imron. 2. Variabel Variabel secara sederhana dapat diartikan sebagai ciri dari individu, objek, gejala, peristiwa yang dapat diukur secara kualitatif Sudjana, 198823. Dalam penelitian ini penulis menggunakan variabel tunggal yaitu analisis pesan dalam puisi âIbuâ karya D Sawawi Imron. B. Definisi Operasional Variabel Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa variabel yang digunakan dalam penulisan ini adalah variabel tunggal, analisis pesan dalam puisi âIbuâ karya D. Sawawi Imron. 1. Analisis pesan dalam puisi adalah untuk mengetahui keadaan sebenarnya pesan apa yang ada dalam puisi. 2. Pesan adalah maksud atau isi dari puisi yang akan disampaikan oleh penyair kepada penikmat puisi atau pengagum puisi. C. Data dan Sumber Data 1. Data Data dalam penelitian ini adalah data deskripsi. Data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena bukan berupa angka-angka atau koefisien tentang hubungan antara variabel. Data yang terkumpul berbentuk kata-kata bukan angka-angka. Tulisan hasil penelitian berisi kutipan-kutipan dari kumpulan data untuk memberikan ilustrasi dan mengisi materi laporan. Data pada dasarnya adalah beban mentah yang dikumpulkan peneliti dari dunia yang dipelajarinya. Wujud data dalam penelitian ini berupa kata, paragraf dan kalimat yang terdapat dalam puisi âIbuâ Karya D. Sawawi Imron. 2. Sumber Data Sumber data penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan dan seperti dokumen dan lainâlain. Sumber data dalam penelitian ini terdapat sumber data primer dan sumber data sekunder. a. Sumber Data Primer Data primer adalah sumber data yang langsung diperoleh secara langsung tanpa lewat perantara. Sumber data primer penelitian ini adalah puisi âIbuâ karya D. Sawawi Imron. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung atau lewat perantara tapi masih berdasar pada kategori konsep. Data sekunder dalam penelitian ini berupa analisis di internet dan buku-buku acuan yang berhubungan dengan objek penelitian. D. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan, yaitu melakukan tinjauan pustaka atau mengumpulkan teori-teori yang berkaitan dengan judul yang penulis angkat, sehingga bisa menjadi pendukung dalam menganalisis puisi âIbuâ karya D. Sawawi Imron. E. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan yaitu dengan teknik analisis deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan hasil analisis secara kualitatif, dengan cara 1. Mengidentifikasi data-data yang sudah diperoleh. 2. Mendeskripsikan atau menjabarkan data yang sudah terkumpul berdasarkan unsur ekstrinsik yang terdapat dalam puisi âIbuâ karya D. Sawawi Imron. 3. Memaparkan data penelitian berupa pesan dalam puisi yang telah diidentifikasi dengan teknik analisis deskriptif sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya.
Penelitianini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan citra ibu pada puisi Ibu karya D. Zawawi Imron, puisi Ibu karya KH. A. Mustofa Bisri, dan puisi Safinah karya M. Aan Mansyur; (2) implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Adapun di
ï»żThis study aims to 1 analyze the inner structure and physical structure of his poetry D. Zawawi Imron entitled "Ibu" 2 to describe the inner structure and physical structure of poetry. The method used is descriptive qualitative research method. This data analysis is done through several stages literature study by reading, recording and identifying rice lines of poetry that belong to the inner structure and physical structure of poetry. From the results obtained the poem entitled "Ibu" by D. Zawawi Imron has several inner Structure consisting of theme, feeling, tone, atmosphere and mandate and physical structure of poetry such as diction, concrete word, image, majas, rima, and typography.
CINTADALAM SEPOTONG ROTI / 1990. adalah sebuah Film IndonesiaGarin Nugroho yang diadaptasi dari novel yang berjudul sama karya Fira Basuki. Film ini menceritakan tentang ketidakmapuan seksual seorang pria dan kenyataan masa lalu yang akhirnya membuat merasa lega akan ketidakmampuannya. Film ini juga memasukkan kalimat-kalimat puisi dari
Batin 1. Suasana Haru 2. Tema Kecintaan seorang ibu akan anaknya. 3. Nada Penghimbau, mengingatkan kepada kita pembaca agar tidak melupakan ibu, dan tahu betapa banyaknya jasa yang telah diberikan ibu ke kita. 4. Amanat Ibu adalah seorang yang sangat berjasa di kehidupan kita dengan segala hal yang diberikan olehnya, dan bagaimana seorang anak yang telah hidup berpisah dari ibunya harus tetap mengingat dan berbakti kepada orang tuanya. B. Unsur-unsur batin tersebut dapat dibuktikan dengan unsur-unsur fisik sebagai berikut 1 Diksi a. Kemarau Ă Berarti kekeringan; gagal panen; bencana b. Hanya mata air air matamu ibu Ă Sang ibu menangis; karena kesusahan saat kemarau tiba. c. Mayang siwalan Ă Kerinduan; kenangan indah d. Gua pertapaanku Ă Dalam kandungan/rahim; tempat berlindung; tempat bernaung; mencari petunjuk. e. Berlayar Ă Menghadapi kehidupan f. Pahlawan Ă Sosok yang berjasa besar g. Samudra Ă Sangat luas h. Lautan teduh Ă Samudra pasifik; samudra terluas i. Angin sakal Ă Masalah; cobaan; hambatan j. Bianglala Ă Pelangi; indah k. Langit biru Ă Indah 2 Kata konkret a. Sumur-sumur kering Dedaunan pun gugur bersama reranting Ă Kemarau; kekeringan; gersang; tandus b. Sedap kopyor susumu Dan ronta kenakalanmu Ă Mengingat tentang masa kehidupan c. Ibu adalah gua pertapaanku Ă tempat mencari petunjuk kehidupan d. Kasihmu ibarat samudra, sempit lautan teduh Ă Kasih ibu sangatlah luas; besar e. Mencuci lumut pada diri Ă Membersihkan diri dari kesalahan; dosa f. Tempatku berlayar, menebar pukat & melempar tanah Ă Tempat mencari penghidupanku g. Bila aku berlayar lalu datang angin sakal Ă Jika dalam mengahadapi hidup diterpa cobaan 3 Imaji a. Pendengaran - b. Penglihatan Daunan pun gugur bersama reranting Hanya mata air air mata mu ibu Saat bunga kembang Menunjuk ke langit, kemudian ke bumi - d. Penciuman Semerbak bau sayang e. Perasaan Di hati ada mayang siwalan Memutikkan sari-sari kerinduan f. Perasa Ă Sedap kopyor susumu 4 Majas a. Ibu adalah gua pertapaanku Ă Metafora b. Kasihmu ibarat samudra Ă Simile c. Bidadari berselendang bianglala Ă Metaofra d. Menulis langit biru Ă Metafora 5 Rima Banyak menggunakan akhiran dengan vokal dari yang tersering âuâ, âaâ dan âiâ Ă Vokal lumayan berat kesedihan sekaligus kegembiraan dan kental akan rasa haru 6 Tipografi a. Penggunaan tanda baca 1. Koma Ă Pemenggalan kata 2. Titik Ă Mengakhiri kalimat b. Penggunaan huruf kapital 1. Di awal puisi 2. Untuk mengawali kata âTuhanâ
Salahsatu puisi yang cukup menarik untuk dianalisis adalah puisi âIbuâ karya D. Sawawi Imron karena merupakan puisi yang mempunyai pesan-pesan. Pesan atau amanat dalam karya sastra cukup penting karena pesanlah yang bisa menjadikan karya sastra itu berkualitas.
.
bqbdtl2jgy.pages.dev/96bqbdtl2jgy.pages.dev/283bqbdtl2jgy.pages.dev/225bqbdtl2jgy.pages.dev/278bqbdtl2jgy.pages.dev/265bqbdtl2jgy.pages.dev/238bqbdtl2jgy.pages.dev/32bqbdtl2jgy.pages.dev/236bqbdtl2jgy.pages.dev/165
analisis puisi ibu karya zawawi imron